Lewat RUU Kesehatan, Menkes Ingin Benahi Layanan Kesehatan

Nasional0 Dilihat

Jakarta – ligo.id – Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menegaskan dirinya ingin membenahi pelayanan kesehatan di Indonesia yang saat ini belum teratur dengan baik. Ia berharap pelayanan kesehatan masyarakat kedepannya bisa yang lebih baik lagi dari kondisi saat ini.

Hal itu dikatakan Menkes pada acara Obrolan Malam Fristian bertajuk “Kawal RUU Kesehatan” yang disiarkan BTV pada Selasa (25/4/2023).

“Saya ingin menata agar negara dan pemerintah diberikan wewenang yang cukup supaya masyarakat kita kedepannya bisa menerima pelayanan kesehatan lainnya dan tersedianya dokter spesialis yang lebih baik. Hanya itu aja yang saya inginkan sebenarnya, tidak yang lain,” katanya.

Budi Sadikin sendiri menjadi menteri kesehatan pada 23 Desember 2020 usai dilantik Presiden Joko Widodo di Istana Negara Jakarta menggantikan Terawan Agus Putranto. Jadi hanya 3 tahun 9 bulan.

Sementara selama satu tahun enam bulan kepemimpinannya di Kemenkes, Budi Gunadi berfokus mengurus masalah pandemi dan vaksinasi Covid-19 hingga Juni tahun lalu selesai.

“Nah sekarang ini kan kerja sudah 8 bulan baru keliatan ternyata masalahnya ada di sini dan kita Kemenkes mau beresin. Namun ternyata wewenangnya tidak ada. Kita lihat wewenangnya ada dimana oh ada di sini. nah itu yang sedang kita upaya rapikan, tapi niatnya bukan ingin berkuasa,” tegas Menkes.

Dijelaskan, waktunya sebagai Menteri Kesehatan hanya tinggal satu tahun sembilan bulan lagi dan nantinya jabatan tersebut akan diberikan kepada penggantinya.

“Jadi saya masih ingin perbaiki dua hal, yakni produksi dan penempatan para dokter. Produksi ini sulit masuknya selain mahal, kenapa dari 92 fakultas kedokteran yang punya pendidikan dokter spesialis itu hanya 20 universitas saja di Indonesia dan itu pun tidak lengkap,” terang Menkes.

Contohnya, Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Padjadjaran tidak memiliki pendidikan dokter spesialis paru, dan Universitas Sriwijaya tidak ada spesialis jantung. “Kenapa tidak ada, ya karena ternyata ada dinamika sendiri di dalam perguruan tinggi juga,” ucapnya.

Jadi, lanjut Menkes Budi, kalau misalnya seseorang ingin ambil dokter spesialis paru, harus mengambil spesialis penyakit dalam terlebih dahulu selama empat tahun. Setelah itu, baru 2-4 tahun lagi bisa mengambil spesialis paru.

“Jadi kolegium spesialis paru yang mau langsung spesialis paru empat tahun itu sulit menembus dinamika ini. Sama halnya dengan spesialis jantung juga itu terjadi,” keluh Menkes Budi.

“Dan sekali lagi Menteri Kesehatan sebagai pemerintah perwakilan negara, tidak bisa intervensi karena tak punya wewenang untuk mengatur itu, padahal kita kekurangan dokter spesialis,” urai dia.

Jadi masalah pendidikan dokter spesialis bisa diatasi dilakukan dengan membuka di 3.000 rumah sakit yang tersebar di seluruh Indonesia oleh kolegium baru lewat RUU Kesehatan. Jadi tidak hanya mengandalkan 20 universitas saja.

“Jadi nantinya lewat UU Kesehatan yang baru nanti, calon dokter spesialis tidak lagi harus membayar uang kuliah ke fakultas kedokteran. Mereka yang justru dibayar dan itu yang akan kita perbaiki di undang-undang pendidikan kedokteran yang baru ini,” ungkap Menkes Budi.

Sementara untuk penempatan dokter spesialis kalau kurang, misalnya di Yogyakarta kurang dokter anestesi, sudah dihitung kurang atau penyakit dalam karena orangnya makin lama makin tua dan bakal ditambah.

Sementara surat izin praktik (SIP) memang diterbitkan oleh pemerintah daerah, tetapi harus ada rekomendasi dari organisasi profesi dokter.

“Organisasi profesi dokter biasanya bertanya kepada senior-senior yang ada di sana. Nah kalau mereka tidak kasih, ya tidak keluar SIP itu. Apakah menteri bisa intervensi, Ya tidak bisa dan akhirnya negara kita bakal kekurangan dokter spesialis terus,” papar dia.

Menkes Budi juga mengaku Kemenkes belum memiliki data valid jumlah serta kebutuhan dokter spesialis dan dokter umum secara lengkap di masing-masing kota.

“Saya nanya ke Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Kolegium dan lainnya, ternyata datanya beda-beda. Bingung kan. Ini sama seperti data Covid-19 dulu yang beda-beda dan harus dibenahi,” ucapnya.

Kini, sesudah diintegrasikan datanya menjadi lebih rapi hingga 96 persen dan ia menjadi tahu data kota/kabupaten dan akan dicocokan dengan data populasi BPJS dan penyakit yang disesuaikan dengan daerah masing-masing.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *